Beranda | Artikel
Prinsip Syirkah dan Penerapannya dengan Bisnis Bank
Kamis, 1 November 2018

Prinsip Syirkah dan Penerapannya dengan Bisnis Bank

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Syirkah dibangun di atas prinsip wakalah dan amanah. Sehingga jika ada 2 orang bergabung dalam kerja sama syirkah, misal si A dan si B, lalu mereka kerja bersama, maka si A menjadi wakil dan penerima amanah dari si B, dan sebaliknya.

Ibnu Qudamah mengatakan,

وشركة العنان مبنية على الوكالة والأمانة لأن كل واحد منهما يدفع المال إلى صاحبه أمنه وبإذنه له في التصرف وكله

Syirkah inan dibangun di atas prinsip akad wakalah dan amanah. Karena masing-masing memberikan modal dana kepada kawan anggota kongsi lainnya, memberi amanah kepadanya dan dengan izinnya kawannya bisa mentransaksikannya. (al-Mughni, 5/129)

Konsekuensi dari akad wakalah dan amanah,

[1] Karena si A adalah wakil dari si B maka aktifitas si A disejajarkan dengan aktifitas si B. Sehingga si A dibenarkan melakukan apapun terhadap objek syirkah, meskipun objek itu, sebagian kepemilikannya adalah milik si B.

[2] Karena si A adalah penerima amanah dari si B dalam objek syirkah, maka dia harus berusaha menjaga objek syikah dengan baik, dan jangan sampai membuat kebijakan yang membahayakan objek syirkah.

Dalam penjelasan mengenai Manajemen Syirkah yang dijelaskan AAOIFI dinyatakan,

3.1.3.1. Pada dasarnya setiap anggota syirkah berhak hak mengelola syirkah untuk menjual, membeli, membayar dengan kontan atau tempo, menerima barang, menyerahkan barang, menitipkan, menggadaikan, mengambil jaminan, menuntut hutang dan menetapkannya, menggugat, memperkarakan di pengadilan, membatalkan akad dan menolak cacat barang, menyewa, mengalihkan hutang, berhutang, dan setiap hal yang mendatangkan mashlahat bisnis yang biasa dilakukan. Anggota syirkah tidak berhak mengelola sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat bagi syirkah atau bahkan mendatangkan mudharat, seperti : hibah atau memberikan piutang –kecuali bila ada izin dari anggota syirkah yang lain-, atau dalam jumlah uang yang sedikit dan tempo yang singkat menurut kebiasaan.

Penerapan Kaidah:

Bisnis Properti dan Bank:

Prinsip syirkah di atas bisa kita terapkan dalam dunia perbankan di negara kita.

Seperti yang kita pahami, bagian dari regulasi perbankan di negara kita, bahwa bank tidak diperkenankan memiliki persediaan (stok). Sehingga bank paling alergi untuk membeli barang sebagai persediaan, sementara konsumennya belum jelas.

Kita akan lihat dalam kasus bisnis properti. Hampir semua konsumen properti, membayar dengan cara dicicil. Mengingat nilainya yang cukup besar. Dan hampir semua developer, merasa keberatan jika harus menangani konsumen yang bayarnya nyicil. Disamping ini sangat mengganggu cash flow perusahaan, ini juga beresiko. Mengingat perusahaan properti tidak memiliki keahlian dalam bidang tagih-menagih utang.

Mereka butuh lembaga intermediate, itulah bank.

Hanya saja, kita punya batasan syariah, bahwa utang tidak boleh disyaratkan ada keuntungan. Sementara dalam hal ini, posisi bank adalah lembaga pembiayaan, melalui akad utang piutang.

Bisa Kasih Saran untuk Bank Syariah?

Saya tidak tahu, apakah saran ini masih melanggar regulasi OJK ataukah tidak.

Bank syariah sebagai pemegang modal, agar bisa menjual rumah tanpa harus memiliki persediaan, apa yang harus dilakukan?

Ada 2 pilihan di sana, mendekat ke nasabah ataukah mendekat ke developer?

Jika bank syariah mendekat ke nasabah, akad yang bisa dilakukan adalah jual beli. Sehingga, agar bank bisa memiliki keuntungan jual beli yang legal, bank syariah harus memiliki rumah itu, dan menguasainya. Baru kemudian dijual ke nasabah. Bank tidak boleh menyerahkan uang ke nasabah. Tapi bank harus menyerahkan rumah. Namun, lagi-lagi ini terhambat regulasi OJK.

Pilihan kedua, bank mendekat ke developer dan melakukan musyarakah satu proyek perumahan.

Bentuknya, bank ikut terlibat sebagai pemegang saham salah satu proyeknya. Misalnya, bank syariah menyediakan dana untuk akuisisi tanah.

Bank syariah tidak harus menyerahkan dalam bentuk tanah. Cukup developer yang melakukannya, selanjutnya bank syariah yang mendanainya. Yang diserahkan oleh bank bisa dalam bentuk uang, dan TIDAK harus barang. Sehingga bank TIDAK harus memiliki persediaan. Saya tidak tahu, bagaimana bunyi laporan yang tepat untuk ini. Apakah dilaporkan bank memiliki persediaan ataukah bank memberikan pembiayaan ke developer.

Selanjutnya, karena akad antara bank syariah dan developer adalah musyarakah, maka posisi mereka adalah wakil bagi pihak lainnya. Sehingga bank bisa menjadi wakil developer, dan developer bisa menjadi wakil bank dalam mentransaksikan perumahan itu.

Berangkat dari prinsip ini, ketika developer telah mulai membangun perumahan, bank boleh menjual rumah itu kepada nasabahnya sebagai wakil bagi developer, tanpa harus menunggu rumah jadi. Karena posisi developer adalah produsen, sehingga bisa dilakukan akad istishna’. Sementara dalam akad istishna’ – menurut pendapat yang lebih kuat – transaksi sudah bisa dilakukan meskipun barang belum diproduksi atau masih dalam proses produksi.

Semoga penjelasan saya bisa memahamkan.

Demikian, Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/33601-prinsip-syirkah-dan-penerapannya-dengan-bisnis-bank.html